KAMPUNGKU : DULU, KINI DAN NANTI


Sungai Cidurian yang tercemar limbah

KAMPUNGKU : DULU, KINI DAN NANTI

Oleh :
Reda Nugraha Maulana Sidik


Kampungku merupakan sebuah kampung yang sangat nyaman untuk ditinggali. Suasana kampung yang begitu asri, sangatlah layak untuk tumbuh berkembang. Banyaknya pohon di sekitar rumah-rumah, tentulah memberi andil yang besar atas sejuknya udara. Ketika pagi menjelang, maka tubuh ini akan terasa menggigil. Jangankan menyentuh air, sekedar melepas selimut pun sangat enggan sekali untuk melakukannya. Hati ini yakin, bukan hanya diri ini seorang yang merasakannya, tapi semua orang yang tinggal di kampungku. Setiap minggu pagi lebih tepatnya setelah subuh, banyak orang yang keluar rumah untuk berolahraga. Tentunya ketika berolahraga, tubuh kita akan merasa lelah dan seakan-akan berbisik istirahatlah wahai tubuh. Tapi kebanyakan orang tidak akan mau berlama-lama untuk beristirahat. Kenapa? Bukan, bukan karena merasa takut akan gelapnya pagi ataupun merasa masih kuat untuk berlari. Tetapi orang-orang tersebut tidak kuat merasakan dinginnya udara ketika beristirahat. Makanya mereka lebih memilih berlari lagi untuk menghangatkan suhu tubuhnya.
Ketika siang datang, orang-orang akan beraktivitas seperti biasanya. Tentunya diterangi oleh matahari yang benderang. Dan ketika sore menyambut, maka itulah saatnya menghibur diri. Melepas segala penat setelah melakukan aktivitas rutin. Terutama anak-anak. Coba tebak, dimanakah tempat yang dijadikan oleh orang-orang di kampungku untuk menghibur diri? Alun-alun? Ayolah, tidak ada alun-alun di kampung. Mall? Come on, ini kampung bukan kota. Sungai? Ya, tepat sekali. Kampungku dengan kampung sebelah, terpisahkan oleh sungai yang lumayan besar. Air disungai tersebut sangatlah jernih, banyak ikannya, dan tentunya tidak berbau. Mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa banyak yang mengunjungi sungai ketika sore hari. Anak-anak berada disungai tentunya untuk mandi sambil bermain. Ada yang bermain kejar-kejaran di sungai, ada yang adu cepat berenang, ada yang bermain menggunakan sarung di air sehinga seperti membentuk balon dan banyak lagi. Untuk remaja, ada yang bermain seperti anak-anak, ada juga yang hanya sekedar mandi. Selanjutnya orang dewasa. Ada yang memancing, ada pula yang ngobrol-ngobrol dipinggir sungai sambil memantau anak-anak. Tidak ketinggalan pula kaum ibu-ibu. Tentunya kedatangan ibu-ibu ke sungai tujuan utamanya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga yaitu mencuci. Itulah gambaran sore hari di kampungku. Semua orang berbondong-bondong datang ke sungai dengan berbagai tujuan. Tapi itu dulu. Ya, semua yang telah diceritakan sebelumnya adalah masa-masa dulu di kampungku. Sekarang? Sangat jauh berbeda dengan dulu.
Kampungku masa kini, sangat kompleks sekali dengan berbagai macam permasalahannya. Pohon-pohon yang dulu ada di sekitar rumah, hilang satu persatu digantikan oleh bangunan. Udara yang dulu sejuk, kini tak ubahnya seperti ibukota. Jika dulu tidur selalu menggunakan selimut, kini hanya menggunakan celana pendek dan kaos tipis. Sedangkan selimut lebih sering tersimpan rapih di dalam lemari. Bahkan terkadang membutuhkan kipas angin untuk menyejukkan udara agar tidur jadi nyenyak. Ketika pagi menjelang, tidak terasa lagi suhu yang dingin seperti dulu. Ketika siang datang, orang-orang sangat enggan untuk keluar rumah karena teriknya matahari yang sangat menyengat. Bahkan alat penyejuk udara semacam kipas angin ataupun air conditioner dapat dipastikan menyala setiap siangnya. Dan ketika sore menyambut sungai yang dulu selalu ramai, kini sepi pengunjung. Hanya sedikit orang yang masih pergi ke sungai. Itu pun karena terdesak oleh keadaan. Masih banyak orang yang kurang mampu yang tidak memiliki sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya terhadap air. Kalaupun punya, sumur-sumur tersebut akan kering ketika kemarau tiba. Padahal dulu tidak pernah kampungku mengenal kata kekeringan sekalipun musim kemarau. Apalagi ketika musim hujan, air sumur hampir rata dengan permukaan tanah. Kondisi sungai sekarangpun, berubah jauh kondisinya dengan dulu. Sayangnya perubahan tersebut merupakan perubahan negatif. Sungai yang dulunya cukup deras, sekarang kita dapat menyebrangi sungai tersebut dengan cara meloncat dari satu batu ke batu lain yang muncul dipermukaan sungai. Sungai yang dulunya jernih, sekarang kotor oleh sampah. Itulah kenapa sungai tersebut sekarang menjadi sepi. Apalagi belum lama dari sejak ditulisnya cerita ini, sungai kami dilanda masalah yang sangat besar. Limbah. Ya, limbahlah biang keladinya. Limbah dari sebuah perusahaan milik negara. Karena limbah tersebut, sungai kami bukan hanya kotor, tetapi juga bau. Bau yang dapat tercium dari jarak yang cukup jauh. Tentunya dampak dari limbah tersebut sangatlah besar bagi orang-orang yang tinggal di sekitar bantaran sungai, juga bagi hewan-hewan yang hidup di dalam sungai. Selain kotor dan berbau, sungai tersebut juga memiliki kadar keasaman yang melewati batas toleransi. Waktu itu sempat dicek, pH-nya berada di bawah 6 sebagai batas toleransi. Limbah-limbah tersebut tentunya membawa penyakit. Banyak orang-orang yang tetap nekat mandi di sungai terkena penyakit kulit. Lantas bagaimanakah cara mengatasi permasalahan tersebut?
Solusi untuk menyejukkan udara yang diakibatkan semakin berkurangnya pohon, pemilihan air conditioner (AC) bukanlah pilihan yang bijak. Penggunaan AC malah akan menambah masalah baru. Ya, pemanasan global. Penghijauan kembali jelas merupakan solusi yang tepat. Selain untuk menyejukkan udara, juga untuk menahan air di dalam tanah sehingga tidak terjadi kekeringan. Tetapi untuk melaksanakan solusi tersebut jelas tidak semudah membalikkan telor dadar. Banyak hambatan yang akan menjegal solusi tersebut terkabul.
Diantaranya ketersediaan bibit pohon dan ketersediaan tanah untuk menanamnya. Untuk ketersediaan bibit, mungkin dapat diatasi dengan cara mengajukan proposal oleh pihak desa kepada dinas terkait. Hal tersebut tidaklah susah karena saya sendiri pernah mengalaminya. Dulu ketika sedang kuliah kerja nyata (KKN) saat menempuh sarjana di suatu desa, saya dan teman-teman mengajukan proposal ke dinas kehutanan untuk meminta bibit pohon. Bibit pohon tersebut akan disebar dibeberapa titik yang ada di desa tempat saya KKN, terutama di areal pemakaman yang ada di desa tersebut. Di areal pemakaman tersebut kondisinya sangatlah gersang. Tidak ada pohon-pohon besar sebagai peneduh orang-orang yang berziarah. Alhamdulillah tanpa banyak pertanyaan dari dinas kehutanan setempat, proposal kami disetujui. Kami mendapat sekitar lebih dari seratus pohon. Mulai dari pohon yang menghasilkan buah-buahan sampai pohon yang menghasilkan kayu yang memiliki kualitas sangat baik sebagai bahan papan. Jika proposal tidak disetujui, maka masyarakat dapat memintanya kepada pihak desa untuk sudi membelikan bibit demi hijaunya desa, demi sejuknya udara di desa juga demi suburnya air tanah di desa. Sudah seharusnya pihak desa menyetujuinya karena hal tersebut dilakukan demi kebaikan desa itu sendiri. Apalagi kita tahu bahwa sekarang desa memiliki anggaran yang sangat besar dari pemerintah. Tentu tidak sulit untuk sedikit menggelontorkan anggaran tersebut demi kemaslahatan desa.
Ketersediaan lahan mungkin adalah hal yang paling sulit untuk diatasi. Apalagi jika ingin menanam pohon-pohon besar. Tetapi di kampung kami bukan sama sekali tidak ada lahan kosong. Masih ada beberapa lahan kosong, diantaranya yaitu di daerah pinggiran sungai. Tanah di pinggiran sungai jarang ada pemiliknya. Tentunya hal itu akan mempermudah untuk memuluskan solusi penghijauan. Dengan menanam pohon di pinggiran sungai, dirasa cukup untuk menghijaukan desa dan menyejukkan kembali udara desa. Selain itu juga untuk mencegah erosi yang disebabkan oleh air sungai yang sedang banjir. Selain menanam pohon-pohon di pinggir sungai, juga dapat menanam tanaman di dalam pot. Jika hanya satu pot mungkin tidak akan berimbas besar. Tetapi jika setiap rumah memiliki lebih dari sepuluh pot tanaman tentu akan membuat kampung terasa hijau dan sejuk. Dari itu semua, maka permasalahan akan kurangnya pohon untuk menyejukkan udara dapat teratasi.
Sungai yang kotor, sungai yang bau dan sungai yang berpenyakit tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Masyarakat harus menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Solusi untuk sungai yang kotor tentunya tidak dapat diatasi oleh warga satu kampung saja. Tetapi semua kampung yang dilewati oleh sungai tersebut, harus saling bahu membahu untuk menjaga kebersihan sungai. Masyarakat harus disadarkan tentang betapa pentingnya sungai. Tentang betapa berpengaruhnya sungai bagi kehidupan banyak orang. Tentunya pemerintah setempat harus turut andil. Karena jika hanya masyarakat yang turut andil tanpa didukung oleh pemerintah, maka efeknya kurang terasa. Masyarakat harus selalu diingatkan agar tidak membuang sampah ke sungai. Tentunya hal tersebut harus dibarengi dengan tersedianya fasilitas yang memadai untuk pembuangan sampah. Karena jika tidak tersedianya fasilitas tersebut, usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai dpat dipastikan akan percuma.
Sungai yang berbau dan sungai yang berpenyakit, itu disebabkan oleh limbah yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan yang berada di hulu sungai. Limbah tersebut hampir setiap hari ditaburkan oleh pihak perusahaan tanpa mengenal waktu. Imbasnya sungai terlihat hitam dan berbau. Tak ubahnya kali item yang ada di ibukota. Sempat terjadi kerisauan dari warga kampung yang dilewati oleh sungai tersebut. Banyak warga yang melakukan pengaduan ke pemerintahan desa setempat agar melakukan protes ke pihak perusahaan yang masih milik negara tersebut. Pihak desa pun menyambut dengan baik pengaduan tersebut. Pihak desa bersama kepolisian sempat melakukan protes ke pihak perusahaan. Hasilnya pihak perusahaan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dan memang benar, untuk beberapa saat, sungai menjadi bersih kembali, terbebas dari limbah yang mencemarinya. Tapi itu hanya untuk beberapa saat. Ya, beberapa hari kemudian limbah mencemari kembali sungai tersebut. Alhasil masyarakat pun marah. Berbagai tuduhan dan cacian sering terdengar di masyarakat. Maka diadakan kembali pertemuan antara pihak desa, kepolisian ditambah para sesepuh sebagai perwakilan dari masyarakat. Pihak perusahan awalnya mengiming-imingi masyarakat untuk dibuatkan wc umum. Tentunya agar mereka dapat bebas membuang limbah ke sungai. Memang sempat dibeberapa tempat dibangun wc umum. Tapi apalah artinya wc umum jika air sungainya kotor. Karena disadari oleh masyarakat jika terus dibiarkan seperti itu, maka air yang berada di dalam tanahpun akan ikut tercemar.
Jika air tanah sudah tercemar, kemana masyarakat harus mencari air bersih? Maka setelah diadakan pertemuan untuk yang kesekian kalinya sebagai imbas dari protes masyarakat yang terus menerus, disepakatilah bahwa pihak perusahaan tidak akan membuang limbah ke sungai. Dan alhamdulillah hal tersebut terbukti sampai sekarang. Sungai kami terbebas dari limbah perusahaan meskipun belum sepenuhnya terbebas dari limbah masyarakat. Tapi setidaknya menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik. Kami yakin seiring berjalannya waktu, jika masyarakat terus menerus disadarkan akan pentingnya sungai, maka sungai kami akan kembali seperti dulu lagi. sungai yang jernih, yang bersih dan sungai yang selalu ramai setiap sorenya oleh anak-anak sampai orang dewasa. Sungai yang dijadikan tempat untuk menghibur diri. Sungai yang dijadikan untuk tempat melepas penat setelah beraktivitas seharian. Juga sungai yang selalu dijadikan sebagai tempat berlatih renang oleh anak-anak.
Dengan semua penjabaran diatas, tentunya sangat berharap dengan teknologi masa kini, kampungku nanti akan seperti kampungku dulu yang sejuk, yang dingin setiap paginya dan yang ramai setiap sorenya di sungai.

Komentar

  1. Sangat disayangkan sekali ya. Semoga semua kampung serupa bisa kembali indah seperti dahulu.

    BalasHapus

Posting Komentar